Friday, September 30, 2011

Jangan Bunuh Penunggu Tua

Kadang-kadang saya memikirkan mereka. Masih bermain seloka lama. Tarinya masih lenggok sama. Lagunya masih disenandungkan mereka. Saya tidak mahu memikirkan mereka. Terutama si penunggu tua. Tapi apa yang pernah mereka lakukan pada saya, tidak pernah akan saya padamkan dari buku hidup saya. Hari ini si penunggu tua masih berbicara tentang saya. Saya tidak punya ilmu tinggi untuk mengetahui tiap kata dan langkah. Tapi saya punya lapis kedua yang memaksa saya meneka. Saya lihat tari si penunggu tua masih sama. Pernah dia katakan tari, lagu dan main saya semakin dibenci orang. Tapi hari ini, saya diberitahu beberapa pemain lain, mereka sudah jemu dengan rentak dan irama penunggu tua. Kenapa rentaknya masih sama. Tidak mahukah mereka mengubah rentak itu? Saya pernah berbicara bersama penunggu tua. Dia kata bukan dia punca rentak tari itu masih lama, tapi rentak saya bukan inang untuk mereka. Terus saya carikan guru-guru irama baru. Mereka ciptakan satu rentak baru untuk saya. Saya mula belajar rentak baru. Penuh santun dan budi. Tapi penunggu tua tetap mencabar saya. Saya tidak pernah rugi pada rentak tarinya yang semakin nampak silap tarinya. Saya biarkan mereka seperti membiarkan Si Luncai yang bersama labunya. Biarkan, biarkan, biarkan. Lagu itu mereka masih nyanyikan. Rentak itu masih mereka tarikan. Tapi mereka lebih tahu akan dosa rentak-rentak itu. Bukan saya yang menjatuhkan hukum. Tetapi si penunggu tua yang menuliskan tentang hukum-hukum Tuhan dalam helai-helai kitabnya. Biarkan dia pemain-pemain rentak baru. Yang bersamanya tetap dengan lagu lama. Kita siulkan irama-irama baru. Walau ada masanya siul kita itu tenggelam dek hentak langkah yang sumbang, tapi kita tetap punya rentak nan sama. Kita selalu membaca apa yang telah ditulis, tapi pernahkah kita menulis semula apa yang telah kita baca? Oh si penunggu tua.
Maafkan saja tarinya

No comments:

Post a Comment